slide 1

ingin.gading.blogspot.com.

slide 2

ingin.gading.blogspot.com.

slide 3

ingin.gading.blogspot.com.

slide 4

ingin.gading.blogspot.com.

slide 5

ingin.gading.blogspot.com.

Sabtu, 16 April 2011

MAKALAH WARA'

MAKALAH WARA’




Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen pengampu: Syamsul Huda R,M.Ag

Disusun oleh:
1. M. Imam Maqbulin              (26.10.3.6.023)
2. Ali Maskuri                          (26.10.3.6.025)
3. Selvi Hidayatur Rahmah       (26.10.3.6.035)
4. Syarif Hidayatullah               (26.10.3.6.037)
 

JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2011


PENDAHULUAN

Seorang hamba sudah berada di persinggahan wara’ ini secara benar, maka dia bisa membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang menjadi kewajibanya. Maka selanjudnya dia harus tatap membulatkan tekad dan ambisi dalam melanjudkan perjalananya menuju Allah sampai ahir hayatnya. Wara merupakan awal persinggahan, pertengahan dan ahirnya. Seorang hamba yang sedang mengadakan perjalanan pada Allah sehendaknya tidak lepas dari wara’. Sekalipun ia beralih kepersinggahan yang lain dan melanjutkan perjalananya, wara’ selalu menyertainya. Wara’ merpakan permulaan langkah hamba dan kesudahanya. Kebutuhanya trrhadap wara’ amat penting dan menesak, tak berbeda dengan permulaanya.
Memisahkan ketakutan dari kemuliaan, bahwa wara’ itu harus dimaksudkan sebagai wujud ketakutan pada Allah, melaksanakan perintahNya dan menjauhi larangaNya, lalu dia melaksanakan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya Allahdan mengkarapkan pahalaNya. Dia juga harus mennggalkan kedurhakaan kepda Allah berdasarkan cahaya dariNya, takut terhadap siksanya dan tidak dimaksudkan untuk mendapat kemuliaan. Karena bagaimanapun juga ketaatan itu mempunyai kemuliaan dalam lahir maupun batin.



PEMBAHASAN

A.                Pengertian Wara’
Yang dimaksud wara’ menurut Sahal bin Abdullah adalah meninggalkan hal-hal yang tidak pasti (Syubhat), yaitu hal-hal yang tidak berfaedah. Sedangkan menurut As-Syibli, wara’ merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan dengan Allah SWT.
Diceritakan oleh Ishaq bin Khalaf, wara’ dalam ilmu logika lebih hebat daripada emas dan perak. Sedangkan zuhud dalam ilmu kepemimpinan lebih hebat daripada keduanya. Oleh karena itu engkau dapat mengumpulkan keduanya dalam meraih kepemimpinan.
Menurut Abu Sulaiman Ad-Daraani, wara’ merupakan permulaan zuhud sedangkan qana’ah merupakan akhir keridhaan. Sedangkan menurut Abu Utsman, pahala wara’ adalah takut kepada hisab (perhitungan amal).
Dikisahkan suatu hari AbduLlah bin Marwan mengalami kebangkrutan. Dia berada di dalam sebuah sumur yang kotor. Setelah menyebut nama Allah, dia dapat keluar dari sumur tersebut. “Menyebut nama Allah dengan harap dan cemas adalah bagian dari wara”.
Yahya bin Mu’adz berkata, “Wara’ terbagi menjadi dua, pertama wara’ lahir yakni semua gerak aktivitas yang hanya tertuju kepada Allah SWT. Kedua, wara’ bathin, yakni hati yang tidak dimasuki sesuatu kecuali hanya mengingat Allah. Barang siapa yang belum merasakan lezatnya wara’ dia belum pernah menikmati pemberian Allah SWT. Mereka yang pandangan keagamaannya bagus, kelak ditinggikan derajatnya oleh Allah di hari kiyamat”.
Ma’ruf Al-Kharqi berucap, sikap wara’ termasuk menjaga diri dari perbuatan tercela, juga menjaga diri dari pujian.
Harits Al-Muhasibi pernah mengulurkan tangannya untuk mengambil makanan syubhat. Tiba-tiba ujung jarinya berkeringat sehingga ia tahu bahwa makanan tersebut tidak halal. Sedangkan sahabat Bishri Al-Maafi pernah diundang dalam suatu acara. Makanan tersebut diletakkan di dhadapannya. Namun ketika ia mengulurkan tangannya ternyata tangannya tidak bisa digerakkan. Itu diulanginya sampai tiga kali, tetapi tidak bisa juga. Sesungguhnya tangannya tidak bisa diulurkan pada makanan yang syubhat.
Pada kisah yang lain diceritakan bahwa Hasan Al-Bashri bertanya kepada putera ‘Ali RA, “Apakah kebesaran agama ?” Dia menjawab sikap ‘Wara’’. Kemudian ditanyakan lagi, “Apa penyakit agama ?” Dia menjawab ‘Tamak’.
Hasan bin Sinan belum pernah tidur terlentang, belum pernah makan samin, belum pernah minum air dingin. Suatu saat ia bermimpi meninggal dunia. Dalam kondisi demikian ia ditanya oleh seseorang, “Apa yang telah Allah berikan kepadamu”. Dia menjawab, “Kebaikan, hanya saja saya terhalang masuk surga karena sebatang jarum yang pernah saya pinjam tapi belum saya kembalikan.”
Begitulah sikap wara’ para sufi zaman dahulu. Menurut Imam Al-Ghazali wara’ adalah menahan diri dari larangan Allah SWT. Ada tiga macam wara’. Pertama wara’ shidiqqin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak ada dalil atau bukti kehalalannya. Kedua wara’ Muttaqiin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung syubhat tetapi dikhawatirkan membawa kepada yang haram. Dan yang ketiga adalah wara’ shalihin yaitu meninggalkan hal-hal yang –boleh jadi- halal atau haram, tetapi belum tentu menyehatkan / baik untuk badan (thayib).[1]


B.     Sifat Wara'
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
"Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia yang paling beribadah"
            Sesungguhnya orang yang mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan dan syi'ar-syi'ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah  di dunia maupun di akhirat.
Maka wara' di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan banyak hal yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar tidak merugikan agamanya.
Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara' adalah kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah  bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
"Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya."[2]
Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan, niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: "Dan sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan)."
Maka wara' yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin 'Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata.
Syaikh al-Qubbari rahimahullah mengisyaratkan kepada pengertian ini dengan katanya: 'Yang makruh adalah dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang banyak melakukan yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan yang mubah merupakan dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh. Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ini dan ia menambahkan: 'Sesungguhnya yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa menyeret kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang dapat menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak ada waktu untuk beribadah). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan dengan pandangan mata.[3]
C.                Ciri-Ciri Orang yang Bersifat Wara’
Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara' adalah kemampuannya meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: 'Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara' adalah menjauhinya.' Imam al-Bukhari rahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: 'Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara': "Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu." Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda:
البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ
"Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu."
Dan yang memperkuat hal itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir rahimahullah secara mursal:
مَا أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ
"Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah."
          Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda:
لاَيَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
"Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang."
Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:
اجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ...
"Jadikanlah pendinding yang halal di antara kamu dan yang haram …"
Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu yang mubah (boleh): 'Ini menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat dalam keselamatan.[4]
          Sebagaimana wara' meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu'amalah, maka sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi: Menahan diri (bersikap wara') dari menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan sunnah.' Ishaq bin Khalaf rahimahullah memandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: 'Wara' dalam tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak.[5]
          Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: 'Rasulullah  mengumpulkan semua sifat wara' dalam satu kata, maka beliau bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ
"Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya."


 D.                Hasil yang Diperoleh Dari Sifat Wara’

          Dan di antara hasil yang nampak bagi sikap wara' bahwa ia memelihara pelakunya dari terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yang melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati karena tidak ada cahaya wara', maka ia terjerumus dalam hal yang haram, kendati ia tidak memilih untuk terjerumus padanya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.[6] Dan dalam hadits ifki (berita bohong), 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata tentang Zainab radhiyallahu 'anha, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara yang ia tidak mengetahui: 'Maka Allah  menjaganya dengan sifat wara'
          Sebagaimana orang yang wara' memelihara agama dan kehormatannya dari celaan:
فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
"…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, ..."
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: 'Dalam hadits ini menjadi dalil bahwa barangsiapa yang tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam usaha dan kehidupannya, berarti ia telah menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Dan dalam hal ini menjadi isyarat untuk memelihara perkara-perkara agama dan menjaga sikap muru`ah.'[7]
          Maka apabila wara' merupakan kedudukan ibadah yang tertinggi:
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
"Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah."
Dan jika agama yang paling utama adalah sikap wara':
خَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ
"Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara”
Apakah juru dakwah yang beriman tidak mau menaiki puncak tersebut dan menjaga dirinya dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga diri dan berhati-hati agar amal ibadahnya tidak gugur sedangkan dia tidak mengetahui.
          Maka sesungguhnya banyak para sahabat yang takut dari sifat nifaq terhadap diri mereka, dan Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dengan penjelasanannya: Rasa takut mereka dari sifat nifaq tidak  berarti adanya sifat itu pada diri mereka, bahkan hal itu merupakan sikap wara' dan taqwa yang luar biasa dari mereka radhiyallahu 'anhum jami'an.[8]
          Seperti inilah sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi terhadap diri kita dan menimbang amal perbuatan kita sendiri.



 KESIMPULAN

1.    Wara' adalah sikap takut yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang boleh, sebagai sikap kehati-hatian.
2.    Di antara tanda-tanda sifat wara' adalah:
a.     Sangat berhati-hati dari yang haram dan syubhat.
b.    Membuat pembatas di antaranya dan yang dilarang.
c.     Menjauhi semua yang diragukan.
d.    Tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh.
e.     Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu.
f.                 Meninggalkan perkara yang tidak berguna.
3.    Di antara buah wara' adalah:
a.     Menjaga diri dari istidraj.
b.    Menjaga agama dan kehormatan.
4.    Di antara sikap wara' para sahabat bahwa mereka sangat  khawatir terhadap diri mereka dari sifat nifaq.



 PUSTAKA

Fath Al-Bari 1/127-128, Saat Menerangkan Bab Ke-39 Dari Kitab Al-Iman.
Hr. Al-Bukhari, Kitab Al-Iman, No. 52, Dan Muslim, Kitab Al-Musaqah, No. 1599 Http://Al--Kisah.Blogspot.Com/2008/04/Wara-Para-Sufi.Html
Http://Www.Islam-Center.Net/Id/Prinsip-Prinsip-Keislaman/Pengertian-Islam/125-Sifat-Wara.Html





[1] http://al--kisah.blogspot.com/2008/04/wara-para-sufi.html 15.47 6 April 2011

[2] HR. al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107.

[3] Fath al-Bari 1/127.
[4] Tahdzib Madarijus salikin hal. 292.
[5] Tahdzib Madarijus salikin hal. 290.
[6] Fath al-Bari 1/127-128, saat menerangkan bab ke-39 dari kitab al-Iman.
[7] Fath al-Bari 1/127. 
[8].http://www.islam-center.net/id/prinsip-prinsip-keislaman/pengertian-islam/125-sifat-wara.html 16.03 6 April 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
PRA-MADRASAH: MASJID





Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dosen pengampu: Toto Suharto,M.Ag

Disusun oleh:
1. Fitria Rahmawati    (26.10.3.6.014)
2. Janal Mawati        (26.10.3.6.019)
3. M. Imam Maqbulin    (26.10.3.6.021)

JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
 SURAKARTA
2011


PEMBAHASAN

Pada masa klasik Islam, masjid mempunyai fungsi yang jauh lebih besar dan bervariasi dibandingkan fungsinya yang sekarang. Disamping sebagai tempat ibadah, masjid juga menjadi pusat kegiatan sosial dan politik umat Islam. Lebih dari itu, masjid adalah lembaga pendidikan semenjak masa paling awal Islam. Masjid pula yang menjadi pilar utama pembangunan peradaban pada suatu negeri. Inilah yang dicontohkan Rasulullah ketika pertama kali beliau menginjakan kakinya di Madinah.
Praktek Rasulullah ini menjadi panutan bagi khalifah dan penguasa muslim sesudahnya. Pembangunan masjid terus berkembang di daerah-daerah kekuasaan Islam. Setiap kota memiliki sejumlah masjid, sebab pembangunannya tidak saja dilakukan penguasa resmi, tetapi juga oleh para bangsawan, hartawan dan swadaya masyarakat. Jumlah masjid terus bertambah sejalan dengan meluas dan majunya peradaban Islam. Tidak mengherankan bila pada abada ke-3 / 9 H, menurut catatan al-Ya’qubi, kota Baghdad saja memiliki tidak kurang dari 3000 masjid. Di pihak lain pengelana terkenal, Ibnu Zaubair (w. 614 H/1217 M) memperkirakan bahwa kota Alexandria (Iskandariyah) mempunyai sekitar 12.000 masjid. Al-Nu’aymi, sarjana Damaskus yang hidup pada abad ke-10 H/16 M, dalam bukunya ia mencatat di Damaskus jumlah masjid saat itu ada 500. Observasi para sarjana tersebut menunjukkan betapa banyaknya jumlah masjid di masa-masa awal kejayaan Islam, dan dalam konteks ini berarti semaraknya pendidikan Islam di lakukan dalam masjid-masjid tersebut.
Barangkali di tengah bayangan devinisi pendidikan modern, orang bisa saja meragukan apakah pada periode paling awal ini kita telah bisa menganggap masjid sebagai lembaga pendidikan. Tapi sejarah membuktikan bahwa fungsi akademis masjid berkembang cukup pesat. Pada masa Umar bin Khattab kita bisa menjumpai tenaga-tenaga pengajar yang resmi diangkat oleh khalifah untuk mengajar di masjid-masjid, seperti di Kufah, Bashrah dan Damaskus.
Fungsi masjid sebagai rumah ibadah dan lembaga pendidikan berjalan secara harmonis, paling tidak dalam beberapa abad. Pada umumnya masjid dibangun sebagai tempat ibadah, dengan fungsi akademis sebagai fungsi sekunder. Kemudian, tak jarang masjid dibangun dengan niat awal sebagai lembaga pendidikan dengan tidak mengabaikan fungsinya sebagai tempat ibadah, dengan bukti ada masjid yang diberi nama dengan nama-nama sarjana yang biasa mengajar di dalamnya, seperti Masjid al-Syafi’i, Masjid al-Syarqamani dan Masjid Abu Bakar al-Syami.
Sejarah Masuknya Pendidikan Islam di Indonesia
Sejarah telah mencatat bahwa semua agama baik agama Samawi atau agama Wadl’i disiarkan dan dikembangbiakkan oleh para pembawanya yang disebut utusan Tuhan oleh para pengikutnya. Mereka yakin bahwa kebenaran dari Tuhan itu harus disampaikan pada umat manusia untuk menjadi pedoman hidup. Para penyiar agama banyak yang menempuh perjalanan jarak jauh dari tempat kelahirannya sendiri demi untuk menyampaikan ajarannya.
Setiap usaha penyiaran agama yang dilakukan mempunyai rintangan dan hambatan bahkan ancaman yang datang silih berganti, akan tetapi tidak dianggap menyulitkan bagi para penyiar agama khususnya agama Islam untuk menyampaikan kebenaran dari Allah swt. Hal ini pulalah yang menyebabkan penyiaran agama berjalan lancer dan kadang-kadang mengalami kemacetan walaupun tidak berhenti total.
Pengembangan dan penyiaran agama Islam termaksud paling dinamis dan cepat dibandingkan dengan agama-agama lainnya. Hal itu diukur dengan kurun waktu yang sebanding dengan sikon, alat komunikasi dan transformasi yang sepadan. Catatan sejarah telah membuktikan bahwa Islam dalam waktu 23 tahun dari kelahirannya sudah menjadi tuan dinegerinya sendiri, yaitu Jazirah Arab.
Di saat Umar bin Khattab memegang pemerintahan sebagai khalifah kedua, Islam sudah mampu menembus dan masuk secara potensial di Syam Palestina, Mesir dan Irak. Pada zaman Usman bin Affan Islam telah menyebar lebih jauh lagi, bahkan hanya dalam waktu kurang dari 30 tahun atau tepatnya tahun 29 H, Islam sudah sampai di Tiongkok Cina yaitu dengan adanya perutusan dari Arab ke Cina yaitu pada tahun 651 H. Begitu pula di wilayah-wilayah lain, Islam masuk secara potensial hingga sampai ke Indonesia.
Ada Dua faktor yang menyebabkan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia dan yang menyebabkan Indonesia mudah dikenal oleh bangsa-bangsa lain, khususnya oleh bangsa-bangsa di Timur Tengah dan Timur jauh sejak dahulu kala yaitu :
Faktor letak geografisnya yang strategis. Indonesia berada di persimpangan jalan raya Internasional dari jurusan Timur tengah menuju Tiongkok, mulai dari lautan dan jalan menuju benua Amerika dan Australia.
Faktor kesuburan tanahnya yang menghasilkan bahan-bahan keperluan hidup yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa lain, misalnya rempah-rempah.
Seperti diketahui dalam sejarah bahwa agama Islam masuk di Indonesia dibawa oleh para muballiq dan inilah faktor yang menunjang keberhasilan dan kecepatan pengembangan Islam, dengan bermodalkan kepribadian para muballiq Islam berdakwah kepada rakyat awam dan kepada para penguasa pemerintahan sekaligus demi untuk menyebarluaskan agama Islam tersebut. Hal ini pula yang menyebabkan pendidikan di Indonesia menyebar luas, perkembangan pendidikan Islam dapat dilihat dan ditandai dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga pendidikan secara bertahap, mulai yang amat sederhana sampai dengan tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai sejarah panjang dan unik. Secara histories, pesantren termasuk pendidikan Islam yang paling awal dan masih bertahan sampai sekarang. Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan yang muncul kemudian, pesantren telah banyak berjasa dalam mencetak kader-kader ulama; dan kemudian berperan aktif dalam penyebaran agama Islam dan transfer ilmu pengetahuan.
Metode pengajaran yang dilaksanakan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan pengajaran yang diterapkan Rasulullah. Meskipun kebanyakan pesantren telah memasukkan pengajaran pengetahuan umum sebagai bagian penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren mendidik calon-calon ulama, yang setia terhadap faham Islam tradisional.
Pesantren sebagai lembaga yang tetap mempertahankan ketradisionalan pengajaran yaitu metode halaqah, merupakan bukti untuk memperkuat pemahaman tentang pengajaran agama. Begitu pula dengan pesantren As’adiyah tetap mempertahankan metode pengajaran halaqah, sebelum lebih jauh membahas bagaimana penerapan metode halaqah terlebih dahulu penulis membahas tentang latar belakang berdirinya.
Perkembangan Pendidikan Islam di Masjid

Pada hakekatnya, masjid memiliki potensi untuk menjadi pusat pendidikan dan peradaban. hal ini tercermin dalam tata ruang daerah, desa atau kota masyarakat muslim, seperti banyak diketemukan di Indonesia. Di beberapa daerah, masjid selalu diketemukan di pusat-pusat kota, mendampingi bangunan pusat pemerintahan, menghadap lapangan luas atau alun-alun.
Mudahnya seseorang memeluk Islam, menjadikan Islam cepat tersebar ke seluruh Nusantara. Banyak orang tua yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam namun memiliki kesadaran akan pentingnya ilmu, memerintahkan anak-ankanya untuk pergi ke surau atau langgar untuk mengaji pada seorang guru ngaji atau guru agama. Bahkan ada pada masyarakat yang kuat religiusitanya ada suatu tradisi yang mewajibkan anak-anak yang berumur 7 tahun meninggalkan rumah dan ibunya, kemudian tinggal di surau atau langgar untuk mengaji pada guru agama. Memang pada mulanya, Pendidikan Agama Islam di surau, langgar atau masjid masih sangat sederhana. Modal pokok yang mereka miliki hanya semangat menyiarkan agama bagi yang telah memiliki ilmu agama dan semangat menuntut ilmu bagi anak-anak. Mereka yang mengajar di masjid-masjid itu tanpa diangkat oleh siapapun.
Banyak daerah di Indonesia, menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan pendidikan dan pengajaran. Bahkan di Minangkabau, masjid menduduki tempat penting dalam struktur sosial dan keagamaan masyarakat. Karena itu surau yang bentuknya lebih kecil dari masjid menjadi penting pula bagi kehidupan masyarakat Minang. Fungsinya sebagai tempat penginapan anak-anak bujang tidak berubah, lalu fungsi tersebut diperluas menjadi tempat pengajaran dan pengembangan ajaran Islam, menjadi tempat mengaji, belajar agama dan tempat upacara-upacara yang berkaitan dengan agama.
Kehadiran surau dalam masyarakat Minangkabau yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam semacam pesantren jelas berkaitan erat dengan perluasan fungsi surau dalam masyarakat Minangkabau. Ini pertama dirintis oleh Syekh Burhanuddin (1066 – 1111 H / 1646 – 1691 M) di Ulakan, Pariaman. Di surau inilah Syekh Burhanuddin melakukan pengajaran Islam dan mendidik beberapa ulama yang menjadi kader dalam pengembangan ajaran Islam selanjutnya di tanah Minang. Salah seorang murid Syekh Burhanuddin yang paling terkenal adalah Tuanku Mansiang Nan Tuo, mendirikan surau pula di kampungnya, Paninjuan.
Setelah kerajaan Islam jatuh dan kaum Paderi dipatahkan oleh penjajah Belanda, maka mulailah pendidikan dan pengajaran Islam memudar. Meskipun demikian, pendidikan Islam di surau-surau dan di masjid-masjid tetap tegak dan tak pernah mati, walaupun pemerintah Belanda telah mendirikan beberapa sekolah sebagai saingan dari suaru-surau itu.
Pasca kemerdekaan, masjid-masjid di pedesaaan berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah shalat, belajar membaca al-Qur’an bagi anak-anak dan memperingati hari-hari besar Islam. Di daerah perkotaan, fungsi masjid menjadi semakin luas. Masjid digunakan sebagai tempat pembinaan generasi Islam, ceramah dan diskusi keagamaan serta perpustakaan.

Pasang Surut Pendidikan Islam di Masjid

Surau, langgar atau masjid merupakan embrio berdirinya pondok pesantren dan pendidikan Islam formal yang berbentuk madrasah atau sekolah agama. Mulanya adalah adanya dorongan dari para pengajar untuk lebih mengintensifkan pendidikan agama pada anak-anak. Maka sang guru atau kyai dengan bantuan masyarakat memperluas bangunan disekitar  surau, langgar, atau masjid untuk tempat mengaji sekaligus sebagai asrama bagi anak-anak. Maksudnya agar anak-anak tidak perlu bolak-balik ke rumah orang tua mereka. Anak-anak tinggal bersama di tempat itu bersama kyainya. Sistem pendidikan pada pondok pesantren ini masih sama seperti sistem pendidikan di surau, langgar, atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.
Perkembangan berikutnya, sistem pendidikan Islam mengalamai perubahan sejalan dengan perkembangan zaman dan pergeseran kekuasan di Indonesia. Kejayaan Islam yang mengalami kemundurun sejak jatuhnya Andalusia kini mulai bangkit kembali dengan munculnya gerakan pembaharuan islam. Sejalan dengan itu pemerintah kolonial mulai memperkenalkan sistem pendidikan formal yang lebih sistematis dan teratur, ini mulai menarik minat kaum muslimin untuk mengikutinya. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam di surau, langgar, masjid dan di tempat lain yang sejenis, dipandang sudah tidak memadai lagi dan perlu diperbaharui dan disempurnakan.
Realisasi dari keinginan-keinginan ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa penyelenggaraan pendidikan menurut sistem sekolah seperti sistem Barat akan membawa hasil yang lebih baik. Maka mulailah diadakan usaha-usaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang selama ini berjalan. Kemudian pendidikan Islam di surau, langgar, masjid dan tempat yang lainnya dikembangkan menjadi madrasah, pondok pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan yang berdasarkan keagamaan.
Walaupun demikian, keberadaan masjid sebagai tempat awal pengembangan pendidikan Islam sampai sekarang masih tetap dipertahankan. Masjid masih banyak digunakan untuk tempat mengaji al-Qur’an, Taman Pendidikan al-Qur;an, kajian-kajian ke-Islam-an, dan kegiatan penyiaran ajaran Islam lainnya. Saat ini, masjid lebih dikembangkan, diberdayakan dan didayagunakan oleh umat Islam sebagai sarana pendidikan nonformal, yang mewadahi masalah pendidikan yang tidak bisa dilaksanakan di lembaga-lembaga formal.
Keinginan kuat dalam membangun kembali fungsi masjid yang sebenarnya, mulai tumbuh dan mencari bentuk yang paling sesuai, terutama dalam bidang pendidikan, dengan tetap memperhatikan dinamika kehidupan Islam di Indonesia.

Masjid sebagai Pusat Pendidikan Islam di Indonesia

Dalam hubungannya dengan pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, sejak awal penyebaran Islam, masjid telah memegang peranan yang cukup besar. Kedatangan orang-orang Islam ke Indonesia yang pada umumnya berprofesi sebagai pedagang, mereka hidup berkelompok dalam beberapa tempat, yang kemudian tempat-tempat yang mereka tempati   tersebut   menjadi   pusat-pusat   perdagangan. Di sekitar pusat-pusat dagang itulah, mereka biasanya membangun sebuah tempat sederhana (masjid), dimana mereka bisa melakukan shalat dan kegiatan lainnya sehari-hari. Memang tampaknya tidak hanya kegiatan perdagangan yang menarik bagi penduduk setempat. Kegiatan para pedagang muslim selepas dagangpun menarik perhatian masyarakat. Maka sejak itulah pengenalan Islam secara sistematis dan berlangsung di banyak tempat.
Awal penyebaran Islam tidak bisa terlepas dari jasa besar masjid, yang  menjadi tempat bertemunya ulama dengan masyarakat umum. Keterlibatan dua pihak yang saling bersepakat untuk bertemu di sebuah tempat yang bernama masjid. Masjid sangat diperlukan, mengingat tidak ada tempat yang lebih memadai dalam mewadahi proses itu. Bahkan dimasa lampau sebelum dikenalnya sekolah dan lembaga lainnya, masjid itulah merupakan satu-satunya pusat kegiatan pendidikan bagi penduduk pedesaaan.
Generasi awal muslim Indonesiapun, mulai dirintis melalui proses pendidikan Islam di masjid. Merekalah yang nantinya membuka jalan baru dalam membentuk masyarakat muslim di Indonesia dan menyebar sampai seluruh pelosok tanah air hingga terbentuknya kerajaan Islam di Indonesia.
Pada masa kerajaan Islam, para sultan memberikan dukungan yang sangat besar terhadap pengembangan masjid sebagai pusat pendidikan. Di jawa, Sultan Demak memerintahkan pembangunan masjid agung yang menjadi pusat keilmuan kerajaan di Bintara, kemudian dukungan kepada para wali yang bertanggung jawab terhadap kehidupan agama Islam di Demak dengan pusat kegiatannya di Masjid Agung Demak. Dari masjid itulah para wali merencanakan, mendiskusikan dan membahas perkembangan Islam di Jawa, dan pada akhirnya mereka berhasil mengislamkan Pulau Jawa.
Di Kutai, Sultan mendirikan masjid yang dijadikan sebagai tempat terhormat untuk menjadi tempat pendidikan dari kalangan bawah sampai atas, termasuk dari kalangan keluarganya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa masjid benar-benar dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi seluruh rakyat Kutai dan sekitarnya untuk pengembangan pendidikan Islam.
Di Aceh, masjid dibangun dengan megah dan dijadikan tempat mendidik masyarakat kesultananan Aceh. Kehidupan masyarakat Aceh menjadi sangat baik dan damai, mereka sangat mencintai ilmu pengetahuan dan agama Islam. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan agama yang begitu kuat merupakan landasan untuk memahami kehidupan yang serba ibadah ini. Kecintaan ini kemudian dimanifestasikan  dalam berbagai bentuk, termasuk penghormatan terhadap diri alim ulama, ahli-ahli ilmu agama, kesediaan untuk berkorban, bekerja keras untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan kesediaannya untuk mengembangkannnya dalam lembaga yang sama tanpa memperdulikan hambatan dan rintangan yang bakal terjadi. Maka Aceh menjadi daaerah yang terkenal dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.
Di Minangkabau, pola pendidikan Islam tersebar dalam surau-surau, masjid berukuran kecil. Kehadiran surau sebagai lembaga pendidikan Islam semacam pesantren jelas berkaitan erat dengan perluasan fungsi surau dalam msayarakat Minangkabau. Pola pendidikan semacam ini terus berkembang sampai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, masjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran secara informal maupun nonformal ini ternyata memberikan hasil yang cukup gemilang, yakni tersebarnya ajaran Islam keseluruh pelosok tanah air.

Sistem Pendidikan Islam di Masjid

Sistem pengajaran di masjid, sering memakai sistem halaqah, yaitu guru membaca dan menerangkan pelajaran sedangkan siswa mempelajari atau mendengar saja, hampir mirip dengan sistem klasikal yang berlaku sekarang. Salah satu sisi baik dari sistem halaqah ialah pelajar-pelajar diminta terlebih dahulu mempelajari sendiri materi-materi yang akan diajarkan oleh gurunya, sehingga seolah-olah pelajar meselaraskan pemahamannya dengan pemahaman gurunya tentang maksud dari teks yang ada dalam sebuah kitab. Sistem ini mendidik palajar belajar secara mandiri.
Adapun metode yang digunakan adalah metode bandongan atau sorogan. metode bandongan adalah metode dimana seorang guru membacakan dan menjelaskan isi sebuah kitab, dikerumuni oleh sejumlah murid yang masing-masing memegang kitab yang serupa, mendengarkan dan mencatat keterangan yang diberikan gurunya berkenaan dengan bahasan yang ada dalam kitab tersebut pada lembaran kitab atau pada kertas catatan yang lain. Sedagkan metode sorogan merupakan metode dimana santri menyodorkan sebuah kitab dihadapan gurunya, kemudian guru memberikan tuntunan bagaimana cara membacanya, menghafalkannya, dan pada jenjang berikutnya bagaimana menterjemahkan serta menafsirkannya.
Ada beberapa hal yang bisa diperhatikan dalam sistem pendidikan Islam di masjid, yaitu:
a. Tenaga pendidik, mereka adalah orang-orang yang tidak meminta imbalan jasa, tidak ada spesifikasi khusus dalam keahlian mengajar, mendidik bukan pekerjaan utama, dan tidak diangkat oleh siapapun.
b. Mata pelajaran yang diajarkan terutama ilmu-ilmu yang bersumber kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, namun dalam perkembangan berikutnya ada bidang kajian lain, seperti: tafsir, fikih, kalam, bahasa Arab, sastra maupun yang lainnya.
c. Siswa atau peserta didik, mereka adalah orang-orang yang ingin mempelajari Islam, tidak dibatasi oleh usia, dari segala kalangan dan tidak ada perbedaaan.
d. Sistem pengajaran yang dilakukan memakai sistem halaqah.
e. Metode pengajaran yang diterapkan memakai 2 metode, yakni metode bandongan dan metode sorogan
f. Waktu pendidikan, tidak ada waktu khusus dalam proses pendidikan di masjid, hanya biasanya banyak dilakukan di sore hari atau malam hari, karena waktu tersebut tidak mengganggu kegiiatan sehari-hari dan mereka mempunyai waktu yang cukup luang.

Masjid sebagai Lembaga Awal  Pendidikan Islam di Indonesia

Menurut Hasan Langgulung, Lembaga Pendidikan adalah suatu sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideology-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik: kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah: masjid, sekolah, kuttab, dan sebagainya.
Daud Ali dan Habibah Daud menjelaskan, bahwa ada dua unsur yang kontradiktif dalam pengertian lembaga, pertama pengertian secara fisik materil, konkrit, dan kedua pengertian secara non fisik, non materil dan abstrak. Terdapat dua versi pengertian lembaga dapat dimengerti karena lembaga ditinjau dari segi fisik menampakkan suatu badan dan sarana yang didalamnya ada beberapa orang yang menggerakkannya, dan ditinjau dari aspek non fisik lembaga merupakan suatu sistem yang berperan membantu mencapai tujuan.
Amir Daiem mendefinisikan lembaga pendidikan dengan orang atau badan yang secara wajar mempunyai tanggungjawab terhadap pendidikan.
Rumusan definisi yang dikemukakan Amir Daiem ini memberikan penekanan pada sikap tanggungjawab seseorang terhadap peserta didik, sehingga dalam realisasinya merupakan suatu keharusan yang wajar bukan merupakan keterpaksaan. Definisi lain tentang lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan, relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.
Adapun Lembaga Pendidikan Islam secara terminology dapat diartikan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itu mengandung pengertian konkrit, berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta penanggungjawab pendidikan itu sendiri.
Proses pendidikan Islam yang berlangsung di masjid sangat dirasakan oleh masyarakat muslim, maka tidak mengherankan apabila mereka menaruh harapan besar kepada masjid sebagai tempat yang bisa membangun masyarakat muslim yang lebih baik. Mulanya masjid mampu menampung kegiatan pendidikan yang diperlukan masyarakat. namun karena terbatasnya tempat, mulai dirasakan tidak dapat menampung animo masyarakat yang ingin belajar. Maka dilakukanlah pengembangan-pengembangan hingga berdirilah pondok pesantren.
Pondok pesantrenpun tidak bisa dipisahkan dari masjid, karena masjid menjadi bagian yang pokok yang menghidupkan pondok pesantren. Pada umumnya dimana ada pondok pesantren pasti didalamnya terdapat masjid. Jadi Masjidlah yang tetap memberikan nuansa religius/ruh bagi kelangsungan pondok pesantren.
Di lain pihak, Sistem pendidikan Agama Islam mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman dan pergeseran kekuasan di Indonesia. Pada zaman kekuasaan kolonial, tidak cukup kesempatan-kesempatan bagi perkembangnya sebuah sistem pendidikan Islam. Pada zaman itu lembaga-lembaga dan simbol pendidikan Islam terbatas pada langgar, masjid, pondok pesantren dan madrasah saja. Hanya inilah sebagai sarana sistem pendidikan yang dikenalkan oleh pemerintah kolonial, yang bersifat formal dan sistematis. Akibatnya banyak model-model pendidikan tersebut mengalami penyempitan dan penyusutan, atau ada pula yang berubah menyesuaikan dan menyempurnakan sistem yang berlaku.
Walaupun demikian, pengembangan pendidikan Islam yang bersifat nonformal, seperti di surau, langgar dan masjid tetap berjalan sampai sekarang. Karena sebenarnya, timbulnya pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah di dunia Islam, termasuk di Indonesia adalah pengembangan semata-mata dari sistem pengajaran dan pendidikan yang berlangsung di masjid-masjid, yang didalamnya dilengkapi dengan sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran.
Kemudian kenyataan membuktikan, bahwa tujuan pendidikan memang tidak mungkin dapat dicapai sepenuhnya dengan melalui berbagai kegiatan di sekolah dan pendidikan informal di lingkungan keluaraga. Akan tetapi sebagian tujuan pendidikan itu dapat dipenuhi dengan berbagai bentuk kegiatan pendidikan nonformal. Bagi masyarakat Indoneisa umumnya dan terutama di daerah pedesaan, ternyata pendidikan nonformal mampu menyediakan kondisi yang sangat baik dalam menunjang keberhasilan pendidikan Islam dan memberi motivasi yang kuat bagi umat Islam untuk menyelenggarakan pendidikan agama yang lebih baik dan sempurna. Lingkungan masjid yang kemudian berkembang menjadi ponsok pesantren, dilengkapi dengan madrasah, merupakan lembaga pendidikan yang menjelma menjadi pusat pendidikan yang sangat penting di Indonesia.

SIMPULAN

Masjid mempunyai fungsi yang jauh lebih besar dan bervariasi dibandingkan fungsinya yang sekarang. Disamping sebagai tempat ibadah, masjid juga menjadi pusat kegiatan sosial dan politik umat Islam. Lebih dari itu, masjid adalah lembaga pendidikan semenjak masa paling awal Islam. Masjid pula yang menjadi pilar utama pembangunan peradaban pada suatu negeri.
Fungsi masjid sebagai rumah ibadah dan lembaga pendidikan berjalan secara harmonis, paling tidak dalam beberapa abad. Pada umumnya masjid dibangun sebagai tempat ibadah, dengan fungsi akademis sebagai fungsi sekunder. Kemudian, tak jarang masjid dibangun dengan niat awal sebagai lembaga pendidikan dengan tidak mengabaikan fungsinya sebagai tempat ibadah, dengan bukti ada masjid yang diberi nama dengan nama-nama sarjana yang biasa mengajar di dalamnya, seperti Masjid al-Syafi’i, Masjid al-Syarqamani dan Masjid Abu Bakar al-Syami.
    Sistem pengajaran di masjid, sering memakai sistem halaqah, yaitu guru membaca dan menerangkan pelajaran sedangkan siswa mempelajari atau mendengar saja, hampir mirip dengan sistem klasikal yang berlaku sekarang. Adapun metode yang digunakan adalah metode bandongan atau sorogan.
Proses pendidikan Islam yang berlangsung di masjid sangat dirasakan oleh masyarakat muslim, maka tidak mengherankan apabila mereka menaruh harapan besar kepada masjid sebagai tempat yang bisa membangun masyarakat muslim yang lebih baik. Mulanya masjid mampu menampung kegiatan pendidikan yang diperlukan masyarakat. namun karena terbatasnya tempat, mulai dirasakan tidak dapat menampung animo masyarakat yang ingin belajar. Maka dilakukanlah pengembangan-pengembangan hingga berdirilah pondok pesantren.

PUSTAKA

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, LP3ES, 1990
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1985).
Haji abu Bakar, 1955. Sejarah Masjid dan Amal Ibadah Dalam Islam. Jakarta. Fa.Adil
Hasbullh. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Rifyal Ka’bah, 1986. Masjid Sebagai Jiwa Kehidupan Masyarakat. Jakarta. Panji Masyarakat.
Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Cet IV ; Jakarta : Bumi Aksara, 1995. Se

makki n madani

MAKALAH MAKKIYAH DAN MADANIYAH




Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Quran   
Dosen pengampu: Drs. Abd. Faeshol, M. Hum

Disusun oleh:
1. Laila Yuni Syarifah        (26.10.3.6.021)
2. Luqy Alvin Ni’amah      (26.10.3.6.022)
3. M. Imam Maqbulin       (26.10.3.6.023)

                                                         JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2011


PENDAHULUANAN

A.      Latar Belakang

            Semua bangsa pasti berusaha untuk melestarikan warisan pemikirannyabegitupun  dengan  Islam  mereka  sangat  memperhatikan  risalah  Nabi Muhammad Saw, terlebih lagi Al-qur’an adalah mukjizat Nabi yang terbesar dan juga merupakan kitab suci yang menjadi pedoman seluruh umat islam.[1]
            Para ulama dan ahli tafsir terdahulu memberikan perhatian yang besar terhadap penyelidikan surat-surat  Al-Qur’an. Mereka meneliti al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat untuk disusun sesuai dengan nuzulnya, dengan memperhatikan waktu, tempat dan pola kalimat. Bahkan lebih dari itu, mereka mengumpulkannya sesuai dengan waktu, tempat dan pola kalimat. Cara demikian merupakan ketentuan cermat yang memberikan kepada peneliti obyektif, gambaran mengenai penyelidikan ilmiah tentang ilmu Makkiyah dan Madaniyah.
Pada umumnya, para pakar Ulum Al-quran membahas permasalahan ini dalam suatu maudlu yang lazim disebut Makkiyah dan Madaniyah. Bila tidak menguasainya, kecuali banyak faidah yang tidak dapat dipetik, juga orang akan banyak mengalami kesulitan dalam mendalami Al- Quran. Bahkan seseorang yang hendak mengetahui  Al-Quran tanpa memahami apa itu ayat- ayat Makkiyah dan apa itu ayat- ayat Madaniyah, bisa- basa terjebak ke dalam kesalahan yang fatal.

PEMBAHASAN
 
A.     Pengertian Makiyyah dan Madaniyyah.

Studi tentang ayat- ayat Makkiyah dan Madinyah sesungguhnya tidak lebih dari memahami penggelompokan ayat- ayat Al-Quran berdasarkan waktu dan tempat turunya sebuah atau beberapa buah ayat Al-Quran. Al-Qur’an turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur dalam jangka waktu dua puluh tiga tahun dan sebagian besar diterima oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
Oleh karena itu para ulama membagi Al-Qur’an menjadi dua bagian, yaitu : Makkiyah dan Madaniyah. Makkiyah adalah wahyu (surat dan ayat) yang diturunkan kepada Nabi Muhamamd SAW sebelum berhijrah ke Madinah, yaitu 12 tahun 5 bulan 13 hari. Yakni dari 17 Ramadhan tahun 41 dari Milad hingga awal Rabi’ul awwal tahun 54 dari Milad Nabi. Madaniyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW setelah berhijrah ke Madinah. Yaitu selama 9 tahun 9 bulan 9 hari. Yaitu dari permulaan Rabi’ul Awal tahun 54 dari Milad Nabi , hingga 9 Dzulhijjah tahun 63 dari Milad Nabi, atau tahun 10 Hijrah.[2]
Berdasarkan hal tersebut maka firman Allah ‘Azza wa Jalla:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (Al-Maa’idah: 3)
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 (dua puluh tiga) tahun. Ayat-ayat dan suart-surat dalam Al-Qur’an terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan perbedaan tempat turunnya, waktu, sebab dan kondisinya.
Sebagian besar surat dan ayat Al-Qur’an itu Makkiyah dan sebagian lagi Madaniyah. Surat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah disebut surat Makkiyah dan yang diturunkan setelah Nabi hijrah disebut surat Madaniyah. Walaupun turunnya di luar kota Madinah, atau bahkan dikota Mekah itu sendiri. Surat Makkiyah merupakan bagian terbesar dari surah-surah Al-Qur’an, khususnya surat-surat pendek.
Sebagian surat dan ayat Al-Qur’an ada yang diturunkan ketika Nabi sedang melakukan perjalanan (safar), dan sebagian lagi ketika beliau tidak sedang dalam bepergian. Begitu juga ada yang diturunkan diwaktu malam hari dan ada yang turun di waktu siang hari. Ada yang turun diwaktu perang dan ada juga yang turun diwaktu damai. Ada yang turun dibumi dan ada yang turun dilangit. Ada yang turun ketika nabi berada ditengah-tengah orang banyak dan ada yang turun ketika beliau sedang sendirian.
Dalam istilah, Makkiyah dan Madaiyah adalah sebagai ilmu yang membahas tentang surat-surat dan ayat-ayat yang diturunkan di Mekah dan yang diturunkan di Madinah. Sedangkan definisi surat Makkiyah dan surat Madaniyah menurut pendapat sebagian besar ulama, surat Makkiyah adalah surat yang diturunkan sebelum Nabi Hijrah. Sedangkan surat Madaniyah adalah surat yang diturunkan setelah Nabi hijah ke Madinah.
 Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi terminologi Makiyyah dan Madaniyyah ada empat Perspektif diantaranya :
1. Dari perspektik masa turun.
Makiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah Hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Mekkah, sedangkan Madaniyyah adalah  ayat-ayat  yang  turun  setelah  Rasulullah  hijrah  ke Madinah, kendatipun  bukan  turun  di  Madinah.  Ayat-ayat  yang  turun  setelahperistiwa hijrah disebut madaniyyah walaupun turun di Mekah atau Arafah.
2. Dari Perspektif tempat turun.
Makiyyah ialah ayat-ayat yang turun di Mekkah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyyah, sedangkah Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya seperti Uhud, Quba, dan Sula .
3. Dari Perspektif Objek Pembicaraan.
Makiyyah adalah ayat-ayat yang menjadi kitab orang-orang Mekkah, sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang menjadi kitab orang-orang Madinah.
4. Dari Perspektif Tema Pembicaraan.
Ayat-ayat Makiyyah mengandung tema kisah-kisah para Nabi danumat-umat terdahulu, sedangkan ayat-ayat Madaniyyah mengandung tema Fara’id dan ketentuan Had.
Sekalipun definisi di atas pada dasarnya merupakan bagian dari usaha pengklasifikasian ayat- ayat Al- Quran. Dengan pengklasifikasian yang teliti berdasarkan tempat dan waktu turunya ayat, akan diketahui ayat-ayat mana saja yang turun lebih dahulu dan turun kemudian.[3] Selanjutnya akan diketahui pula kronologi turunnya ayat atau ayat- ayat tertentu. Dari pengetahuan mengenai Makkiyah dan Madaniyah ini, sekurang- kurangnya akan didapati tiga faidah, yaitu :
1.    Mengetahui ayat- ayat mana saja yang nasikh dan ayat- ayat mana saja yang mansukh bila terlihat adanya dua ayat yang berbeda pesan.
2.    Bahwa makna dan pesan yang dikandung ayat tertentu sering kali berkaitan dengan sebab tertentu , pada kasus dan tempat kejadian tertentu pula. Dengan adanya klasifikasi ini, usaha memahami ayat Al-Quran secara benar akan sangat terbantu , dan kekeliruan akan dapat ditekan  sekecil mungkin.
3.    Bahwa kehidupan Rasulullah SWT adalah uswah hasanah, suri tauladan bagi setiap mukmin. Maka dengan melihat ayat- ayat yang turun di Mekah dan Madinah akan diketahui pendekatan pembinaan pada pribadi maupun masyarakat mukmin yang dilakukan  Al- quran. Masyarakat Mekah adalah masyarakat yang berbeda dengan Madinah. Dan kondisi umat maupun kalangan bukan muslim setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah berbeda dengan keadaannya ketika sebelum Rasulullah hijrah. Dan, karakter penduduk mekah berbda dengan penduduk Madinah.[4]
Di setiap sudut atas lembaran Alqur’an selalu ditemukan keterangan surah al-makkiyah dan surah al-madaniyah. Demikian pula dalam Alquran dan Tarjamah sumbangan King Abdul Aziz Saudi Arabia, keterangan makkiyyah dan madaniyah ditulis secara khusus dalam muqaddimah. al-Makkiyah dan al-Madaniah merupakan salah satu tema penting dalam pembahasan ‘Ulum al-Qur`an. Semua ulama sejak dulu hingga sekarang tidak pernah melewatkan tema ini, khususnya dalam konteks penafsiran Al-Qur’an. Kepentingannya terasa sangat diperlukan terutama terkait dengan bagaimana memahami kandungan Al-Qur’an. Munculnya beberapa kekeliruan dalam penafsiran disinyalir karena tidak menggunakan pijakan kronologi sejarah pewahyuan, baik yang terkait dengan asbab al-nuzul, al-makkiyah dan al-madaniyah maupun al -nasikh wa al-mansukh. Istilah Makkiyyah dan Madaniyah sebenarnya diambil dari dua nama kota Makkah dan Madinah, tempat Rasulullah menerima wahyu Al-Qur’an. Penggunaan dua nama kota tersebut dalam tema ‘Ulum al-Qur`an dimaksudkan untuk menginformasikan ada wahyu yang turun di Makkah dan ada pula yang turun di Madinah atau di tempat lain.
4.    Menurut Imam al-Zarkasyi, seorang pakar ‘Ulum al-Qur’an, sebenarnya istilah Makkiyah dan Madaniyah dalam pembahasan ‘Ulum al-Qur’an memiliki tiga konotasi:  berkonotasi tempat, berkonotasi periode waktu (sebelum atau sesudah hijrah),  berkonotasi objek wahyu (khithab), tergantung kepada penduduk kota mana (Makkah/Madinah) wahyu itu ditujukkan. Karena alasan fleksibelitas dan ketercakupan semua wahyu, ahirnya Imam al-Zarkasyi dan juga al-Suyuthi merekomendasikan konotasi kedua sebagai pijakan, sehingga kemudian menjadi populer digunakan oleh para ulama tafsir dan ‘Ulum al-Qur’an.
5.    Secara historis, Al-Qur’an yang terdapat dalam mushaf sekarang, memang tidak disusun secara kronologis berdasarkan periode kesejarahan turunnya wahyu berdasar makkiyah dan madaniah. Para ulama sepakat bahwa meski Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dalam berbagai rentetan peristiwa, situasi dan kondisi, namun susunannya dalam mushaf sekarang, memang disusun secara rapi atas petunjuk Rasulullah sendiri setiap kali wahyu itu turun.

 

B.     Urgensi Pembagian Surat Makkiyah Dan Madaniyah


Madaniyah atau Makkiyah (penetapan aghlabiyah) dan penetapan berdasar pada surat apakah diawali dengan ayat yang turun di mekkah atau madinahsehingga ditentukan dengan berdasar pada muatan ayat awal pada surat,apakah Makkiyah atau Madaniyah (penetapan kontinuitas)Masih terkait dengan pengklasifikasian surat dalam A1-Qur’an. Ternyata,banyak  manfaat  yang  didapatkan  dalam  menekuni  pengklasifikasiannya.diantaranya menurut al-Zarqani di dalam kitabnya yang berjudul Manahilul‘Irfan yaitu “kita dapat membedakan dan mengetahui ayat yang Manshuk danNasikh. Yakni, apabila terdapat dua ayat atau lebih mengenai suatu masalah,sedang  hukum  yang  terkandung  di  dalam  ayat-ayat  itu  bertentangan.Kemudian dapat diketahui, bahwa ayat yang satu Makkiyah, sedang yanglainnya Madaniyah; maka sudah tentu ayat yang Makkkiyah itulah yangdinasakh oleh ayat yang Madaniyah, karena ayat yang madaniyah adalah yangterakhir turun”.
Urgensi mengetahui Makiyyah dan Madaniyyah sebagai berikut :
a. Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Al Qur`an. Sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh yang tedahulu.
b. Meresapi gaya bahasa Al-Quran dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan Allah. Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti paling khusus dalam retorika. Karakteristik gaya bahasa makkiyah dan madaniyah dalam Al-Quran pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaaannya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan.
c. Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur`an. Sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik dalam periode Mekkah maupun Madinah. Sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Al-Qur`an adalah sumber pokok bagi peri hidup Rasulullah SAW, perihal hidup beliau yang diriwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan Al-Quran.[5]
d.Membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dengan mengetahui kronologis Al-Qur’an seorang mufassir dapatmemecahkan makna kontrakdiktif dalam dua ayat yang berbeda yaitudengan konsep Nasikh-Mansukh.
e.Pedoman bagi langkah-langkah dakwa. Ungkapan-ungkapan dan intonasi berbeda pada ayat Makiyyah dan Madaniyyah  memberikan  informasi  metodologi  bagi  cara-cara menyampaikan dakwah agar relevan dengan mustami’. Memberi informasi tentang Sirah KenabianAl-Qur’an adalah rujukan Otentik bagi perjalanan Dakwah Nabiyang tidak diragukan lagi. Perjalanan dakwah Nabi ini berjalan seiringdengan penahapan turunnya wahyu baik di Mekkah atau Madinah.
f. Dapat mengetahui dengan jelas sastra Al-Qur’an pada puncak keindahannya, yaitu ketika setiap kaum diajak berdialog yang sesuai dengan keadaan obyek yang didakwahi ; dari ketegasan, kelugasan, kelunakan dan kemudahan.
g. Dapat mengetahui puncak tertinggi dari hikmah pensyariatan diturunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan prioritas terpenting kondisi obyek yang di dakwahi serta kesiapan mereka dalam menerima dan taat.
h. Pendidikan dan pengajaran bagi para muballigh serta pengarahan mereka untuk mengikuti kandungan dan konteks Al-Qur’an dalam berdakwah, yaitu dengan mendahulukan yang terpenting di antara yang penting serta menggunakan ketegasan dan kelunakan pada tempatnya masing-masing
i. Dapat membedakan antara nasikh dan mansukh ketika terdapat dua buah ayat Makkiyah dan Madaniyah, maka lengkaplah syarat-syarat nasakh karena ayat Madaniyah adalah sebagai nasikh (penghapus) ayat Makkiyah disebabkan ayat Madaniyah turun setelah ayat Makkiyah.[6]
Kegunaan dan manfaat mengetahui Surat Makkiyah dan Surat Madaniyah banyak sekali dan merupakan cabang ilmu-ilmu Al-Qur’an yang sangat penting untuk diketahui dan dikuasai oleh seorang mufassir, sampai-sampai kalangan Ulama al-Muhaqqiqun tidak membenarkan seorang penafsir Al-Qur’an tanpa mengetahui ilmu Makkiyah dan Madaniyah.

C.     Ketentuan Dan Ciri-Ciri Khas Makkiyah Dan Madaniyah


Para ulama telah meneliti surat-surat Makkiyah dan Madaniyah dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut.
a.       Ketentuan Surat Makkiyah yang bersifat Qath’i
Surat Makkiyah yang bersifat qat’I ada 6 macam yaitu sebagai berikut :
1.      Setiap surat yang didalamnya mengandung “sajdah” maka surat itu Makkiyah.
2.      Setiap surat yang mengandung lafal “kalla”berarti Makkiyah. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur`an dan di sebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surat.
3.      Setiap surat yang mengandung “yaa ayyuhan naas” dan tidak mengandung “yaa ayyuhal ladzinaa amanuu”, berarti Makkiyah. Kecuali surat al-Hajj yang pada akhir surat terdapat ayat “yaa ayyuhal ladziina amanuur ka`u wasjudu”. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah Makkiyah.
4.      Setiap surat yang menngandung kisah para nabi umat terdahulu adalah Makkiyah, kecuali surat Al Baqarah.
5.      Setiap surat yang mengandung kisah Adam dan iblis adalah Makkiyah, kecuali surat Al Baqarah.
6.      setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan seperti “alif lam mim”, “alif lam ra”, “ha mim” dll, adalah Makkiyah. Kecuali surat Al Baqarah dan Ali-Imran, sedang surat Ra`ad masih diperselisihkan.[7]

b. Tema & Gaya Bahasa Surat Makkiyah yang bersifat Ablaghi
Dari segi ciri tema dan gaya bahasa sebagai berikut :
1.      Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumentasi dengan orang musyrik dengan menggunkan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
2.      Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan ahlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara dzalim. Penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
3.      Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelaran bagi mereka sehingga megetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka, dan sebagai hiburan buat Rasulullah SAW sehingga ia tabah dalam mengadapi gangguan dari mereka dan yakin akan menang.
4.      Suku katanya pendek-pendek atau ayat-ayat Makkiyah itu pendek-pendek dan dinamai ayat-ayat Qishar. disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras. Menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah, seperti surat-surat yang pendek-pendek. Dan perkecualiannya hanya sedikit.
5.      Terdapat banyak lafadz sumpah.
D.     Perbedaan antara Makkiyah dan Madaniyah

a.  Perbedaan Pada Konteks Kalimat.
1. Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah memakai konteks kalimat tegas dan lugas karena kebanyakan obyek yang didakwahi menolak dan berpaling, maka hanya cocok mempergunakan konteks kalimat yang tegas. Baca surat Al-Muddatstsir dan surat Al-Qamar.
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan mempergunakan konteks kalimat yang lunak karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima dan taat. Baca surat Al-Maa’idah.
2. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah ayat-ayat pendek dan argumentatif, karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari, sehingga konteks ayatpun mengikuti kondisi yang berlaku. Baca surat Ath-Thuur.
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan adalah ayat-ayat pendek, penjelasan tentang hukum-hukum dan tidak argumentatif, karena disesuaikan dengan kondisi obyek yang didakwahi. Baca ayat tentang hutang-piutang dalam surat Al-Baqarah.
b.  Perbedaan Pada Materi Pembahasan
1. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah berisikan penetapan tauhid dan aqidah yang benar, khususnya yang berkaitan dengan Tauhid Uluhiyah dan iman kepada hari kebangkitan ; karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari hal itu.
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan berisikan perincian masalah ibadah dan muamalah, karena obyek yang didakwahi sudah memiliki Tauhid dan aqidah yang benar sehingga mereka membutuhkan perincian ibadah dan muamalah.
2. Penjelasan secara rinci tentang jihad berserta hukum-hukumnya dan kaum munafik beserta segala permasalahannya karena memang kondisinya menuntut demikian. Hal itu ketika disyariatkannya jihad dan timbulnya kemunafikan, berbeda halnya dengan aya-tayat Makkiyah.


E.     Surah Yang Turun di Makkah dan Madinah Serta yang Diperselisihkan

Pendapat yang paling populer dan tentang bilangan suratsurat Makkiah dan Madaniyah ialah bahwa Madaniah ada dua puluh surah:
1) alBaqarah; 2) Ali ‘Imran; 3) anNisa; 4) alMa’idah; 5) alAnfal; 6)  atTaubah; 7) anNur; 8) alAhzab; 9) Muhammad; 10) alFath; 11) alHujurat; 12) alHadid; 13) alMujadalah; 14) alHasyr; 15) alMumtahanah; 16) alJumu’ah; 17) alMunafiqun; 18) atTalaq ; 19) atTahrim; da 20) anNasr.
Yang diperselisihkan ada dua belas surah; 1) alFatihah; 2) arRa’d; 3) arRahman; 4) asSaff; 5) atTagabun; 6) atTatfif; 7) alQadar; 8) alBayyinah; 9) azZalzalah; 10) alIkhlas; 11) alFalaq; dan 12)anNas.
Selain yang tersebut diatas adalah Makkiah.
Dengan menamakan sebuah surah itu Makkiah atau Madaniah tidak berarti bahwa surah tersebut seluruhnya Makkiah atau Madaniah, sebab di dalam surah Makkiah terkadang terdapat ayatayat Madaniah, dan di dalam surah Madaniah pun terkadang terdapat ayatayat Makkiah. Dengan demikian, penamaan surah itu Makkiah atau Madaniah adalah menurut sebagian besar ayatayat yang terkandung di dalamnya. Karena itu, dalam penamaan surah sering disebutkan bahwa surah itu Makkiah kecuali ayat “anu” adalah Madaniah; dan surah ini Madaniah kecuali ayat “anu” adalah Makkiah. misalnya surah alAnfal itu Madaniah, tetapi banyak ulama mengecualikan ayat 30 yang dianggap sebagai ayat Makkiah.[8]


KESIMPULAN

Ayar-ayat  Al-Qur’an  dibagi  ke  dalam  dua  kategori  yaitu  ayat-ayat Makiyyah dan ayat-ayat Madaniyyah. Ayat-ayat Makiyyah dan Madaniyyah didefinisikan dalam empat perspektif, keempat perspektif itu adalah masa turun (Zaman  An-Nuzul),  tempat  turun  (Makan  An-Nuzul), objek  pembicaraan (Mukhatab), dan Teman Pembicaraan (Maudu’). Untuk mengetahui mana yang termasuk  kategori  ayat-ayat Makiyyah  dan  Madaniyyah dilakukan  melalui  duaperangkat  pendekatan,  diantaranya  pendekatan  transmisi (Periwayatan),  danpendekatan analogi (Qiyas). Masing-masing kategori memiliki ciri-ciri yang spesifik, baik dari segi lafadz, tema, maupun isi. Ada beberapa surat yangditurunkan di Madinah sedangkan hukumnya termasuk ayat Makiyyah itu karenayang menjadi khitab orang Mekkah. Pengklasifikasian ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur’an ini membantu kitauntuk dapat mengetahui langkah-langkah yang berangsur-angsur ditempuh oleh Al-Qur’an seiring dengan perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW.




PUSTAKA

http://blog.uin-malang.ac.id/ivageje/2011/01/01/makkiyah-dan-madaniyah/
http://blog.uin-malang.ac.id/ivageje/2011/01/01/urgensi-pembagian-surat-makkiyah- http://marzokey.wordpress.com/2010/02/15/makki-dan-madani/
http://www.scribd.com/doc/44056070/Makalah-Makiyyah-dan-Madaniyah
Kamaluddin Marzuki, Ulum Al-Quran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992) hlm.47.
dan-madaniyah
Syeikh Muhammad bin Shalih Al_ utsaimin, Ushuulin Fie At_Tafsir ( Pustaka As_sunnah )


[1] http://www.scribd.com/doc/44056070/Makalah-Makiyyah-dan-Madaniyah 5 April 2011 10.22
[2] http://blog.uin-malang.ac.id/ivageje/2011/01/01/makkiyah-dan-madaniyah/ 18.38/4 April 2011

[3] Kamaluddin Marzuki, Ulum Al-Quran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992) hlm.47.
[4] ibid
[5].http://blog.uin-malang.ac.id/ivageje/2011/01/01/urgensi-pembagian-surat-makkiyah-dan-madaniyah/ 18.36 4 April 2011

[6] Syeikh Muhammad bin Shalih Al_ utsaimin, Ushuulin Fie At_Tafsir ( Pustaka As_sunnah )
[7].http://blog.uin-malang.ac.id/ivageje/2011/01/01/ketentuan-dan-ciri-ciri-khas-makkiyah-dan-madaniyah/ 18.37 4 April 2011
[8].http://marzokey.wordpress.com/2010/02/15/makki-dan-madani/21.53/6/April/2011